# Pentigraf
# Senin Menulis
Cinta Dua Zaman
Matahari mengintip di balik celah jendela kamarku. Saat tiba-tiba bunyi telpon nyaring di meja kecil sudut kamar. Segera aku raih Handphone itu, timbul penasaran siapa yang menelpon. Ternyata Ayahku yang menelpon. Apa gerangan yang membuat Ayah menelpon sepagi ini. Sepertinya ada hal yang sangat penting. Ternyata Ayah menyuruhku pulang minggu depan. Aku katakan tidak bisa, karena minggu depan siswaku ujian lisan. Aku tinggal di perumahan salah Satu Pesantren Modern. Tapi Ayah tidak menerima alasan apapun. Terpaksa aku harus meminta izin pada pemilik Pesantren, agar bisa pulang ke Sukabumi.
Bulan sabit menerangi malam remang-remang saat aku memasuki rumah dengan letih. Ayah dan Ibu nampak tersenyum senang menyambut kedatanganku. Tapi ada yang membuat aku bingung, kenapa saudara Ayah dan Ibu ada di rumah. " Nak, syukurlah kamu sudah datang. Pasti kamu lapar, lebih baik kamu makan dulu dan bersih-bersih. Setelah itu kita berbicara" Ayah terlihat tidak sabar untuk segera berbicara denganku. Aku hanya menganggukan kepala tanda setuju. Setelah aku selesai makan dan bersih-bersih. Ayah memanggil aku untuk berbicara, entah sepenting apa yang akan Ayah bicarakan. " Nak, sini duduk dekat Ayah dan Ibu! Ada hal yang sangat penting yang akan dibicarakan" Kata Ayah dengan serius. Sedangkan Ibu hanya tersenyum dengan lembut. " Dua hari lagi kamu akan menikah dengan gadis kampung sebelah. Dia perempuan cantik yang baik. Dia baru lulus sekolah MA enam bulan ini. Sama denganmu yang juga baru lulus SMA" Kata Ayah dengan mantap. Aku seperti terkena hantaman petir di siang hari. Mimpi apa Aku kemarin. Semua ini terlalu tiba-tiba ya Tuhan. Pikiranku kalut, tak diduga semua ini terjadi padaku. Semua ini terlalu cepat bagiku. Bagaimana aku bisa menikah, aku saja baru selesai sekolah, dan baru mengabdi di pondok itu. "Ayah, apa aku tidak salah dengar. Bagaimana bisa semua ini Ayah lakukan. Aku tidak mengenal perempuan itu. Aku juga belum siap untuk menikah. Aku baru lulus sekolah. Aku juga punya rencana akan kuliah. Bagaimana semua ini bisa aku lakukan Ayah?" Kataku dengan penuh amarah. " Na, Ayah tau semua ini berat bagimu. Tapi Ayah sudah berjanji dengan calon mertua perempuanmu saat kami bertemu setahun lalu. Kami memang tidak berjodoh. Tapi kami menginginkan anak kami berjodoh. Akhirnya Ayah menyetujui kamu dan putrinya untuk dijodohkan" Dengan tenang Ayah menceritakan semuanya. " Tapi Ayah, bagaimana aku bisa menikah dengan orang yang tidak aku kenali?". " Percayalah nak pada Ayah, mungkin semua ini sudah takdirmu. Bukannya Ayah kolot menikahkanmu diusia yang masi muda. Dari pada kamu pacaran dan akhirnya berzinah. Mau dikemanakan ilmu agama yang kau pelajari selama 6 tahun di pesantren itu?" Katanya dengan penuh halus. "Tapi Ayah ini bukan zaman Siti Nurbaya, ini zaman modern Ayah. Bagaimana masa depanku?" Dengan air mata berlinang aku masih mempertahankan keinginanku untuk tidak mengikuti keinginan kedua orang tuaku. " Baiklah nak, jika kamu tidak mau. Tapi ingat, kau sudah dididik berdasarkan ajaran agama yang baik. Jangan sampai kau jadi anak durhaka" Kata Ayah dengan pasrah. Sejenak aku pikirkan baik-baik perkataan Ayah. Semua yang dikatakannya benar. Aku tidak boleh jadi anak durhaka yang tidak tau balas budi. Aku juga tidak mungkin berpacaran dan berzinah. Dikemanakan semua ilmu agama yang sudah ku pelajari. Akhirnya aku bersedia untuk menikah, tapi aku meminta pada orang tua untuk tetap melanjutkan kuliahku. Aku juga meminta pada orang tua untuk membantu biaya kuliahku. Karena gaji yang aku dapatkan tidak cukup untuk kuliah dan kebutuhan rumah tanggaku nanti.
Akhirnya aku menikah dengan gadis pilihan Ayah. Yaitu anak mantan pacarnya Ayah. Ini seperti cinta dua zaman menurutku. Aku sampai tak habis pikir dengan takdir yang terjadi padaku. Tapi mudah-mudahan ini yang terbaik yang Tuhan berikan. Ternyata orang tuaku dan mertuaku bekerja sama membantu biaya kuliahku sampai selesai. Aku juga merasa tenang, jalan yang aku ambil tidak salah. Aku tidak mau menjadi anak pembangkang yang tidak berbakti. Walaupun usiaku baru 19 tahun. Tapi pernikahan kami sah secara hukum dan agama. Kami juga selamat dari perzinahan. Semoga Tuhan selalu memberi rizki berlimpah. Semoga kami meraih surga yang dijanjikan-Nya.
Semoga anak-anak kita dijauhkan dari perbuata-perbuatan yang dibenci Allah SWT
BalasHapusAamiin
HapusMntapp.. Cinta 2 generaasi
BalasHapusYa gitulah Omet🤭🤭🤭🙏🙏🙏
HapusAamiin..
BalasHapusTerimakasi
Hapus
BalasHapusLuar bisa ceritanya, jarang terjadi di zaman sekarang..
Betul Ambu. Meski ada bisa dihitung jariya🤭🤭🤭
Hapussaya menikah di usia muda juga bu, sama sudah di siapkan calonnya...
BalasHapusJodoh Bunda semoga yang terbaik dunia akhirat. Jodoh itu seperti pati yang tidak diduga dan dihalang.
HapusKeren ceritanya Bu..
BalasHapusTerimakasi Bunda🤭🤭🤭
HapusPernikahan dini menurut kita, tapi bisa menjadi alternatif menyelamatkan generasi.
BalasHapusYa Bunda Suyati🤭🙏
Hapuscinta dua jaman
BalasHapuscinta dua generasi
Betul bunda Iin🤭
HapusKalau yang saya baca, paragraf kedua kok panjang sekali ya? Cerita ini sebenarnya bisa dipersingkat lagi. Dialog-dialog di paragraf kedua lebih bagus ditulis berbaris-baris, secara terpisah. Kalau dijadikan dalam satu paragraf, saya rasa kurang cocok.
BalasHapusUntuk penulisan "Ayah" dengan huruf besar di depan, itu untuk kata sapaan. Maksudnya saat kita berbicara dalam kalimat langsung. Sedangkan di kalimat biasa, cukup huruf kecil saja di depan.
Masih adakah anak sekarang yang mau seperti itu? Rasanya sulit dan perlu pemikiran yang luar biasa. Semoga menjadi jodoh sampai akhir hayat.
BalasHapusCinta Dua Zaman,
BalasHapusCerita yang menarik, Ketika Ayah tidak berjodoh, maka anaknya yang berjodoh dengan mantan Ayah.... heheheh
Cerita manarik sekali. Boleh krisan sedikit ya.
BalasHapusUntuk penukisan Pentigraf paragraf duanya terlalu panjang. Saran saya dialognya dipersingkat.
Hati-hati! Ayah"ku" terperangkap CLBK. He he ....
BalasHapusSalam kenal, Mbak Sriwati.
Bagus banget ceritanya
BalasHapus